Senin, 13 Mei 2013

QADARIYAH DAN JABARIYAH

QADARIYAH DAN JABARIYAH


1.   QADARIYAH

      1.1.  Asal-usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu Qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminolaogi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya,  ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.

Bedasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Seharusnya sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa Qadar menentukan segala tingkah laku yang baik atau yang buruk.

Setelah Nabi Saw wafat banyak rentetan kejadian. Sampai pada masa daulah bani umayyah banyak menimbulkan persoalan-persoalan, baik yang menyangkut masalah politik maupun yang menyangkut masalah ilmu kalam/teologi. Persoalan pertama yang timbul adalah masalah politik, akan tetapi pihak-pihak yang terlibat dan yang bersangkutan membawa masalah agama kedalamnya, sehingga menimbulkan masalah yang menegangkan dalam masyarakat dan tindakan-tindakan kekerasan serta penindasan yang menghasilkan pertumpahan darah yang menggunakan dalih atau mengatasnamakan agama.

Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutif Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama  kristen. Orang yang dimaksud ini ialah Susan, namun hal ini masih menjadi perdebatan.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang yang pertama kali membahas dan menyebarluaskan serta mengembangkan faham Qadariyah adalah Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad–Dimasyqi di Damaskus.

1.2.   Doktrin-doktrin Qadariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah  disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas, doktrin Qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah. Akibatnya, seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.

Harun Nasution menjelaskan pendapat tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia  berkuasa atas perbutan-perbuatannya. Seorang pemuka Qadariyah yang lain’ bernama An-Nazzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia memiliki kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik ataupun berbuat jahat dan berhak mendapat balasan atas kabaikan ataupun kejahatan yang dilakukannya. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakandalam doktrin islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini, misalnya surat Al-Kahfi [18] : 29 :

È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 ... ÇËÒÈ

”Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu’ barang siapa ingin beriman, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir, biarkanlah ia kafir.”
                                                                                          (Q.S. Al-Kahfi [18] : 29)

Dalam surat Ar-Ra’d [13] : 11 disebutkan :

... 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ ...  ÇÊÊÈ 

”Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
                                                                                 (Q.S. Ar-Ra’d [13] : 11)

Dalam surat An-Nisa [4] : 111 disebutkan :

`tBur ó=Å¡õ3tƒ $VJøOÎ) $yJ¯RÎ*sù ¼çmç7Å¡õ3tƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR  ... ÇÊÊÊÈ  

”Dan barang siapa melakukan dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”
                                                                                 (Q.S. An-Nisa [4] : 111)


2.   JABARIYAH
      2.1.   Asal-usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Aliran ini disebut jabariyah karena berfaham bahwa ”Manusia dalam keadaan terpaksa”. Segala gerak-geriknya dan tingkah lakunya tidak timbul dari dirinya, tapi atas ciptaan Tuhan. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.

Jadi, perbuatan manusia ditentukan oleh qadha dan qadar  Tuhan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculannya dan perkembangannya perlu dijelaskan mengenai orang-orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham aljabar dan dalam situasi apa saja faham ini muncul.

Faham aljabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam karangan murjiah. Faham aljabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya Al-Husain bin Muhammad an-najjar dan Ja’d bin dirar.

Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bahasa arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad  Amin, ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa arab yang di kungkung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh besar terhadap cara hidup mereka.

Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum tokoh di atas. Benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah, yaitu bahwa khalifah Umar bin Khatab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri, ketika diintrogasi pencuri itu berkata ”Tuhan telah menentukan aku mencuri”, mendengar ucapan itu’ Umar marah dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan.

Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit daham al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola fikir atau aliran yang di anut, dipelajari, dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah bani Umayyah, yakni kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.

Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya di akibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermanzhab Qurra dan aagma kristen bermanzhab yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di kalangan umat islam. Di dalm Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkakan faham ini, misalnya :

ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ 

Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.”
                                                                        (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 96)

öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ... ÇÊÐÈ  

”Dan bukankah engkau yang melempar ketika kamu melempar (musuh), tetapi Allah yang melempar mereka.”
                                                                                      (Q.S. Al-Anfal [8]: 17)

2.2.   Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian’ Ekstrim dan Moderat. Diantaranya doktrin jabariyah Ekstrim adalah pendapat bahwa segala perbuatan yang timbul bukan dari kemauan sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya’ Jika seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena Qadha dan Qadar Tuhan yang menghendaki demikian.

Para pemuka faham jabariyah Ekstrim di antaranya:
a.      Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan, ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah. Ia menjabat sebagai sekretaris Haris bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintahan bani umayyah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha-usaha yang dilakukan beliau yang berkaitan dengan persoalan Teologi, yaitu:
1.   Manusia tidak mampu berbuat apa-apa, ia tadak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
2.   Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selainTuhan.
3.   Kalam Tuhan adalah mahluk. Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti; berbicara, mendengar dan melihat.
Dengan demikian Jahm hampir sama dengan Murjiah, Mutazilah dan Asy-Ariyah.

b.     Ja’d bin Dirham
adalah seorang Maulana bani hakim, tinggal di Damaskus, ia dibesarkan di dalam lingkungan orang kristen yang senang membicarakan Teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintahan bani umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontrofersial, bani umayyah menolaknya. Kemudian ia pergi ke Kufah, disana ia bertemu dengan  Jahm dan mentransferkan fikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

Doktrin-doktein pokok Ja’d secara umum sama dengan Jahm.
Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut:
1.   Al-Qur’an itu mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesutu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2.   Alloh tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluknya, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3.   Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Sedangkan Jabariyah Moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat ataupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab, manusia tidak Majbur (di paksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang.

Para pemuka faham jabariyah Moderat di antaranya:
a.      An-Najjar
Nama lengkapnya yaitu Husain bin Muhammad An-Najjar, para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Adapun pendapat-pendapatnya yaitu:
1.   Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan itu.
2.   Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, akan tetapi’ An-Najjar mengatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati pada mata, sehingga manusia dapat melihat tuhan.

b.     Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia  sama dengan Husain An-Najjar yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan oleh dalang tetapi mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang yang di ciptakan dalam diri efek untuk melakukan perbuatan. Secara tegas Dhirar  menyatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya di timbulkan oleh tuhan  tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Dhirar juga menyatakan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indra ke enam. Ia juga berpendapat bahwa Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad, hadist ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam mendapatkan hukum. 

Tidak ada komentar: