Kamis, 15 Desember 2011

Penafsiran Mustafa Al-Maraghi

BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW., terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah SWT, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan syarat, maka muncullah banyak penafsiran.

Banyak ulama yang telah menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, salah satunya adalah seorang mufassir yang bernama Mustafa Al-Maraghi’ dalam karyanya yang dikenal tafsir al-maraghi. Beliau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode Tahlili dan metode Ijmali. Pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk memberikan contoh ayat dalam Al-Qur’an yang telah ditafsirkan oleh mufassir Mustafa Al-Maraghi, yaitu surat Al-Isra ayat 78-79 tentang “PERINTAH MENDIRIKAN SHALAT.”

B.  Rumusan Masalah
1.     Siapa Mustafa Al-Maraghi itu?
2.     Apa saja karya-karya Mustafa Al-Maraghi?
3.     Apa metode yang digunakan Mustafa Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an?
4.     Bagaiman corak penafsiran Mustafa Al-Maraghi?
5.     Apa contoh ayat dalam Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Mustafa Al-Maraghi?
6.     Bagaiman analisa atau pendapat penulis tentang Mustafa Al-Maraghi?


BAB II
PEMBAHASAN


TAFSIR AL-MARAGHI
PERINTAH MENDIRIKAN SHALAT
(QS, Al-Isra: 78-79)


A.    Biografi Mustafa Al-Maraghi

Tahun Lahir      : 1883 M.
Tahun Wafat     : 1952 M.
Mazhab             : Syafii-Asyariyah
Tokoh                : Mufassir Qur'an

Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim.

Al-Maraghi lahir di kota Maraghah,[1] sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 km di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M. Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah (nama belakang) bagi dirinya, bukan keluarganya. Ini berarti nama al-Maraghi bukan monopoli bagi dirinya dan keluarganya.

Ia mempunyai 7 orang saudara. Lima di antaranya laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi (pernah menjadi Grand Syekh Al-Azhar), Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa’ Mustafa al-Maraghi. Hal ini perlu diperjelas sebab seringkali terjadi salah kaprah tentang siapa sebenarnya penulis Tafsir al-Maraghi di antara kelima putra Mustahafa itu.  Kesalah kaprahan ini terjadi karena Muhammad Musthafa al-Maraghi (kakanya) juga terkenal sebagai seorang mufassir. Sebagai mufassir, Muhammad Musthafa juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak meninggalkan karya tafsir Alquran secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian Alquran, seperti surah al-Hujurat dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud di sini sebagai penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.

Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia mempelajari Alquran, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum usi 13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat Alquran. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasa-dasar ilmu agama yang lain.

Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M, atas persetujuan orangtuanya, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum Kairo. Dengan kesibukannya di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang yang ulet, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M.

Di kedua Universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.

Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi sebagai guru di beberapa madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 Km sebelah barat daya kota Kairo. Dan, pada tahun 1916, ia diminta sebagai Dosen Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.

Pada tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar.  Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah, di antaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah, dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut.

B.  Karya-karya Al-Maraghi

                  Dengan segala kesibukannya, Al-Maraghi menulis karya monumentalnya ini selama kurang lebih 10 tahun. Karena disiplin waktu yang ketat, al-Maraghi mampu menyelesaikan penulisan tafsir ini tanpa mengganggu aktivitas primernya sebagai seorang dosen dan pengajar.  Menurut salah satu referensi, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya ini, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama 4 jam, sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis.

Al-Maraghi adalah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Selama hidup, ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama. Banyak hal yang telah ia lakukan. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya ilmiyah. Salah satu di antaranya adalah Tafsi-r al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang beredar dan dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini.

Karya-karya dari Al - Maragi yang lain, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Al-Hisbat fi al-Islam
2. Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
3. ‘Ulum al-Balaghah
4. Muqaddimat at-Tafsir
5. Buhûts wa A-ra’ fi Funûn al-Balaghah, dan
6. Ad-Diyanat wa al-Akhlaq

C.  Metode Penafsiran Al-Maraghi

Dari sisi metodologi, al-Maraghi bisa disebut telah mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara “uraian global” dan “uraian rincian”, sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijma-li dan ma’na tahlili.[2]

Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dha’if) dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh al-Maraghi sendiri pada muqaddimahnya tafsirnya ini.  Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufassir untuk melibatkan dua sumber penafsiran (‘aql dan naql).[3]

1.   Metode Tahlili

      Secara etimologis, metode tahlili berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munasabat), hingga sisi keterkaitan antar pemisah itu (wajh al munasabat) dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbab al nuzul), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., Sahabat dan tabi’in.

Dari sekian metode tafsir yang ada, metode tahlili merupakan metode yang paling lama usianya dan paling sering digunakan. Selain menjelaskan kosa kata dan lafaztahlili juga menjelaskan sasaran yang dituju dan kandungan ayat, seperti unsur-unsur i’jazbalaghah, dan keindahan susunan kalimat, serta menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat tersebut untuk hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, dan norma-norma akhlak. Hampir seluruh kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang ada sekarang dan yang digunakan dalam studi tafsir adalah menggunakan metode tafsir tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara berurutan menurut urutan ayat-ayat yang ada dalam mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Nas tanpa dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang semakna.[4]

Artinya, meyoritas mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selalu mengikuti tertib urutan ayat-ayat yang ditafsirkan tanpa memerhatikan topik ayat-ayatnya.

a.   Ciri-ciri Metode Tahlili

Ada dua ciri utama dalam metode tahlili, yaitu:

Pertama, tafsir bi al ma’thur, yaitu penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat; penafsiran ayat dengan Hadist Nabi saw, untuk ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Tafsir bi al ma’thur (literal) juga dikenal dengan tafsir bi al riwayah. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ma’thur adalah Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Tabari. Tafsir al-Qur’an al-’Adim karya Ibn Kathir. Menurut W. Montgomery Watt, tafsir al-Tabari adalah tafsir al-Qur’an yang paling penting di antara kitab tafsir yang masih ada dan dapat diperoleh dengan mudah. Karyanya itu dicetak pertama kali di Kairo pada tahun 1903 M dalam tiga jilid dan kemudian dicetak berulang kali.

Kedua, tafsir bi al ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad,[5] terutama setelah seorang mufassir betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al nuzulnasikh-mansukh dan beberapa hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir. Tafsirbi al ra’yi (rasional) juga dikenal dengan tafsir bi al dirayah.

Dalam menyikapi tafsir bi al ra’yi, para ulama ada yang menerima dan ada yang menolak. Apabila ia memenuhi persyaratan yang dikemukakan para ulama tafsir, maka penafsiran itu bisa diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi persayaratan, maka penafsirannya ditolak. Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode bi al ra’yi adalah: Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karangan Mahmud al-Nasafi, dan Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin.

b.   Keistimewaan dan Kelemahaman Metode Tahlili

Keistimewaan metode ini terletak pada ruang lingkupnya yang luas sehingga dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Jadi dalam tafsir analitik ini mufassir relatif lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-Qur’an. Mungkin kondisi inilah yang membuat tafsir tahlili lebih pesat perkembangannya.

Sebaliknya, kelemahan metode tahlili bisa dilihat dari tiga hal: (1) menjadikan petunjuk al-Qur’an secara parsial, (2) melahirkan penafsiran yang subyektif, dan (3) membuka peluang masuknya pemikiran isra’iliyat. Meskipun demikian, metodologi tahlili telah memberikan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek: bahasa, fikih, teologi, filsafat, sain dan sebagainya.

2.   Metode Ijmali

Metode ijmali (global) ialah metode yang mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.

Dalam metode ini, seorang mufassir berupaya untuk menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan uraian singkat dan mudah dipahami oleh pembaca dalam semua tingkatan, baik tingkatan orang yang memiliki pengetahuan yang ala kadarnya sampai pada orang yang berpengetahuan luas.

Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekadar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan berwawasan luas, sehingga masih menyisakan sesuatu yang dangkal, karena penyajian yang dilakukan tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an, sehingga membaca tafsir yang dihasilkan dengan memakai metodeijmali, layaknya membaca ayat al-Qur’an. Uraian yang singkat dan padat membuat tafsir dengan metode ijmali tidak jauh berbeda dengan ayat yang ditafsirkan.

a.   Ciri Metode Ijmali

Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlilimuqaran, ataupun mawdu’i adalah terletak pada: (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis

b.   Keistimewaan dan Kelemahan Metode Ijmali

Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada: (1) proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum, (2) terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain, dan (3) bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur’an.

Adapun kekurangan metode ijmali adalah: (1) menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, (2) tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.

Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.[6]

D.  Corak Penafsiran Al-Maraghi

            Ada banyak corak tafsir yang termasuk di dalam metode tafsir Tahlili ini, yang berdasarkan klasifikasi kecenderungan utama pemikiran dan karakter pendekatan ilmiahnya dapat dibagi ke dalam 7 corak penafsiran: Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, Tafsir Sufi, Tafsir Fiqhi, Tafsir Falsafi, Tafsir Ilmi, dan Tafsîr Adabi ijtima‘i.  Corak penafsiran yang dipakai oleh Mustafa Al-Maraghi adalah Tafsîr Adabi ijtima‘i.[7]

Corak Adabi Ijtima’i adalah corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya. Atas dasar itu mufassir menerangkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an, menampilkan sunnatullah yang tertuang di alam raya dan sistem-sistem sosial, sehingga ia dapat memberikan jalan keluar bagi persoalan kaum muslimin secara khusus, dan persoalan ummat manusia secara universal sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh al-Qur’an. Karya-karya tafsir yang dapat dimasukkan dalam kategori ini selain Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi (w. 1945) adalah Tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Rida (w. 1935), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut.

E.  Contoh tafsir Al-Maraghi

      Q.S, Al-Isra: 78-79, tentang Perintah mendirikan solat.
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur ̍ôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% ̍ôfxÿø9$# šc%x. #YŠqåkôtB ÇÐÑÈ z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7tƒ y7/u $YB$s)tB #YŠqßJøt¤C ÇÐÒÈ

Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh [865]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat (78).  Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji (79).[8]


TAFSIRU ‘L-MUFRADAT
(Penafsiran Kta-kata Sulit)


Perintah Mendirikan Shalat

Duluqu ‘sy-Syams: Tergelincirnya matahari dari lingkaran pertengahan siang (meridian)
Al-Ghasaq: Kegelapan yang pekat
Qur’anu ‘l-fajr: Shalat Subuh

Kana masyhuda: Disaksiakan oleh saksi-saksi kekuasaan Allah, aneka ragam hikmah Ilahi dan keindahan alam atas maupun bawah.  Dari gelap gulita berubah menjadi cahaya yang terang benderang dan sinar yang cemerlang; dari tidur yang lelap menjadi bangun dan bergerak ,terus berusaha mencari rezeki.  Maka, Maha Sucilah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pencipta.  Dan adakah di sana pemandangan yang lebih indah dalam pandangan orang yang melihat daripada munculnya cahaya pagi yang terbit dari sela-sela kegelapan yang pekat cahaya itu mendesaknya dengan kuat, untuk selanjutnya menerangi alam dengan keindahannya; dan dengan bangkitnya orang-orang yang tidur dan gerak mereka di atas permukaan hamparan bumi, padahal beberapa saat yang lalu mereka diam tidak berkutik.  Sungguh, shalat subuh merupakan awal kehidupan baru setelah bangkit dari mati dan lelapnya panca indra.

At-Tahajud: Bngun dari tidur untuk melakukan shalat malam.
Nafilah: Kewajiban tambahan atas sembahyang lima waktu yang difardhukan kepadamu.

PENJELASAN

ٲقم الصلاةلدلوك الشمس ٳلى غسق اللٻل

Artinya: “Laksanakanlah shalat yang difardukan kepadamu setelah tergelincirnya matahari, sampai dengan gelapnya malam.”
Pernyataan ini, memuat shalat yang empat, yaitu: Zhuhur, Ashar, magrib, dan isya.
وقرانالفجر   
            Dan tunaikanlah pula shalat subuh. Tentang hal itu, Sunnah Nabi yang Mutawatir telah menerangkan pula lewat perkataan atau perbuatan beliau saw., rincian tentang waktu-waktu shalat yang dilaksanakan oleh umat Islam sampai sekarang, yang dilakukan dari masa Nabi saw. Dan generasi, dari zaman ke zaman.

            Tentang hal itu telah diterangkan pula dalam Surat Al-Bqarah, bahwa yang dimaksud dengan mendirikan shalat, adalah melaksanakannya sesuai dengan cara yang telah digariskan oleh agama dan jalan yang telah disyaratkannya, seperti menghadapkan hati kepada munajat di hadapan Tuhan dan takut kepada-Nya dalam kerahasiaan, atau terang-terangan, di samping shalat itu harus memuat syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah dijelaskan oleh para Imam Mujtahid.

Shalat adalah inti ibadah, karena dalam shalat terkandung munajat kepada Yang Maha Pencipta serta berpaling dari apa saja selain Allah, juga memuat doa kepada-Nya semata-mata.  Doa adalah sumsum ibadah mana pun, karena dalam hadist disebutkan:

اعبدالله كأ نك تراه٬فٳن لم تكٮن تراه فانه 
Artinya: “Sembahlah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya.  Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.”

Malaikat Silih Berganti
Menjaga Manusia

Sesungguhnya shalat subuh adalah shalat yang disaksikan, karena di waktu fajar itulah para malaikat malam dan malaikat siang bertemu dan menyaksikan pada waktu fajar itu bersama-sama.  Sesudah itu, malaikat malam pun naik, sedang yang tinggal adalah Malaikat siang.  Menurut Abu Hurairah, bahwa Nabi saw., pernah bersabda:

Pergantian menjaga kalian para Malaikat malam dan Malaikat siang, dan mereka bertemu pada shalat Shubuh dan shalat Ashar.  Maka, naiklah para Malaikat yang tadi tinggal bersamamu, lalu ditanyalah mereka oleh Tuhan, padahal Dia lebih tahu mengenai halmu, “Bagaimanakah keadaan hamba-hamba-Ku ketika kamu tinggalkan?” Maka jawab para Malaikat, “Kami datang kepada mereka ketika mereka shalat, dan kami tinggalkan mereka ketika mereka sedang shalat.”

Sedangkan menurut riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., mengenai firman Allah Ta’ala, Nabi saw. Bersabda:

تشهد ه ملاٮكه الليل وملا ٮكه الهار         

Artinya: “Shalat subuh itu disaksikan oleh Malaikat malam dan Malaikat siang.”

            Namun demikian, yang dimaksud ialah, seperti yang dikatakan Ar-Razi, bahwa pada waktu subuh itu manusia menyaksikan bekas-bekas kekuasaan Ilahi dan aneka ragam nikmat-Nya, baik di langit maupun bumi, karena di sana manusia menyaksikan kegelapan kelam yang sedang diusir oleh cahaya yang cemerlang.  Dan di sanalah kebangkitan dari tidur setelah padam dan lelapnya panca indra, serta gejala-gejala kekuasaan Ilahi lain, seterusnya yang tampak pada kekuasaan dan kerajaan-Nya.  Seluruh alam berkata dengan keadaan bahasa masing-masing, atau bahkan dengan ucapan:

سٮبوح قدوس٬ رالملا ٮكة والروح 

Artinya: “ Maha Suci dan Maha Qudus Tuhan yang memiliki malaikat-malaikat dan Jibril.”  165
ومن الٮيل فتهٮجد به         

Artinya: “Dan bangunlah pada sebagian malam serta bertahajudlah kepada-Nya.”
Ayat ini merupakan perintah pertama kepada Nabi saw., agar melakukan shalat malam, selain shalat-shalat yang telah difardukan.

Diriwayatkan oleh Muslim oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi saw., pernah ditanya, “Shalat apakah yang utama setelah shalat fardhu?” Maka jawab beliau  , “ Shalat Sunnah di waktu shubuh.”

Tentang hal itu, terdapat pula dalam hadist-hadist shahih yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ibnu Abbas maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya:

كان يتهٮجد بعد نومه        

Artinya: “Bahwa Nabi saw., melakukan shalat tahajud setelah tidur.”

نا قلة لك          
Sesungguhnya sahlat tahajjud itu suatu kewajiban khusus untuknu semata-mata, bukan untuk umatmu.  Bagimu, shalat tahajjud itu fardhu, sedang bagi umatmu mandub.  

F.   Analisis Penulis terhadap Mustafa Al-Maraghi

Menurut analisis saya Mustafa Al-Maraghi adalah seorang Mufassir yang hebat, cerdas, dan disiplin, karena jika membaca biografi beliau, sejak ia kecil (mulai menempuh pendidikan dasar), hingga ia lulus dari perguruan tinggi  yaitu Universitas al-Azhar di Kairo dan Universitas Darul ‘Ulum Kairo, ia selalu berusaha dengan ulet dan tekun dalam belajar dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an , sehingga beliau menjadi Direktur di Madrasah Mu’allimin di Fayum, dan pada tahun 1916, ia diminta sebagai Dosen Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.  Karena jasanya di salah satu madrasah tempat ia mengajar (menjadi guru), al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.

Karena ketekunan dan keuletannya tersebut, selain beliau berhasil menjadi direktur dan dosen (guru) dibeberapa madrasah.  Ia juga berhasil menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam beberapa karyanya, yaitu; Tafsir Al-Maraghi, Al-Hisbat fi al-Islam, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, ‘Ulum al-Balaghah, Muqaddimat at-Tafsir, Buhûts wa A-ra’ fi Funûn al-Balaghah, dan Ad-Diyanat wa al-Akhlaq.

Dalam menafsirkan ayat-ayatnya, Musthafa Al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara “uraian global” dan “uraian rincian”, sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmali dan ma’na tahlili. Dan berbeda dengan para Mufassir yang lain, Musthafa Al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber penafsiran ayat-ayat, yaitu dengan melibatkan aql dan naql.

Tafsir al-maraghi merupakan salah satu tafsir Al-Qur’an kontemporer.   Nama al-maraghi diambil dari nama belakang Muhammad Musthafa Al-Maraghi..  Tafsir ini merupakan hasil dari jirih payah dan keuletan beliau selama kurang lebih 10 thn, dari tahun 1940-1950.  Tafsir ini pertama kali diterbitkan tahun 1951 di Kairo.  Pada terbitan yang pertama ini, tafsir al-maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz Al-Qur’an, kemudian pada tebitan kedua terdiri dari 10 jilid, dimana setiap jilidnya  berisi 3 juz, dan pernah diterbitakan ke dalm 15 jilid, dimana setiap jilid berisi 2 juz.

Sungguh mengagumkan sekali seorang Mustahfa Al-Maraghi menurut pandangan saya, karena di tengah kesibukannya menempuh pendidikan, hingga ia menjadi guru di beberapa madrasah, ia juga dapat menyelesaikan menulis tafsir Al-Qur’an kontemporer yang menjadi karyanya dan masih kita kenal hinnga saat ini. Terlebih lagi, penulisan tafsir ini  tidak terlepas  dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah beliau sebagai salah satu ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema dalm masyarakat  kontemporer yang membutuhkan pemecahan.  Hingga ia merasa merasa terpannggil untuk menawarkan solusi bedasarkan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.



BAB III
KESIMPULAN


Dari berbagai penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Nama lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Al-Maraghi lahir di kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 km di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M, ia mempunyai 7 orang saudara. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M, atas persetujuan orangtuanya, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum Kairo.  Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran.  Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut
B.  Karya-karya Musthafa Al-Maraghi adalah:

    • Tafsir Al-Maraghi
    • Al-Hisbat fi al-Islam
    • Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
    • ‘Ulum al-Balaghah
    • Muqaddimat at-Tafsir
    • Buhûts wa A-ra’ fi Funûn al-Balaghah, dan
    • Ad-Diyanat wa al-Akhlaq
C.  Mufassir Musthafa Al-Maraghi menggunakan metode Tahlili dan metode Ijmali dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya-kayanya. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar), dengan melibatkan dua sumber penafsiran yaitu ‘aql dan naql sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat.

D.  Corak penafsiran yang dipakai oleh Musthafa Al-Maraghi adalah Adabi Ijtima’I, yaitu corak penafsiran yang menekankan penjelasan tentang aspek-aspek yang terkait dengan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an (balaghah) yang menjadi dasar kemukjizatannya.

E.   Salah satu contoh penafsiran Musthafa Al-Maraghi terdapat dalam surat Al-Isra ayat 78-79, tentang perintah mendirikan shalat.




[1]Sandy Dwiyono. Ahmad Musthafa Al-Maraghi.  (http://www. republika. co.id/berita/45689/Tafsir Al-Maraghi memaduakn Aql dan Naql, 2010)
[2] Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Hlm 24-27
[3]Nailurrahman dan Shalehuddin. Metode Tafsir Tahlili Dan Ijmali. (http://www.khabarislam.com/tafsir-al-maraghi-memadukan-aql-dan-naql).html

[4]  Muhammad Husayn Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun. (Maktabah Mush’ab ibnu Umair al-Islamiyah, 2004), Hlm. 139
[5]  W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an (Terjemah). Taufik Adnan Amal (Jakarta: CV Rajawali, 1991), Hlm 265
[6] Abd al-Hayy al-Farmawi.  al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu’i (Terjemah).  Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), Hlm. 12
[7] M. Syarifuddin, Anwar. Corak Penafsiran. (http:// Metode Tafsir « Blog MENGAJAR, 2009)
[8]  Mustafa Al-Maraghi, Ahmad. Tafsir Al-Marghi 15  (terjemah). (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1988), Hlm. 152-157 

Tidak ada komentar: